Cerita Pengecer Koran

Beberapa bulan terakhir ini, aku kerap kali bertemu dengan penjual koran di dalam halte Transjakarta Mangga Besar. Awalnya aku merasa biasa saja menikmati keberadaannya yang tak lelah berteriak untuk sekadar menawarkan korannya.
Satu di antara yang paling eksis dijual adalah koran Kompas. Koran tersebut menjadi brand media ternama yang diutamakan untuk dijual. Begitu, si, tebakku.
Abis seringkali penjualan koran ini nawarin koran Kompas terus.
Suatu ketika, aku merasa asing memasuki gerbang pintu masuk halte Tj tersebut. Tak seperti biasanya aku disambut teriakan hangat si penjual:
“Korannya, kak/mas/mba/om/tante. Koran Kompas.”
Namun pagi ini berbeda. Suasana di dalam halte terasa biasa saja. Hanya ada orang-orang ansos yang asik dengan dunia; bermain hp dan bahkan melempar lamunan jauh-jauh serta memikirkan ‘menu makan siang nanti’ ((padahal baru jam setengah 8 pagi, buaji!))
Saat menaiki Transjakarta tujuanku, aku berpikir: “ke mana itu abang penjualan koran?”
Suara informan di dalam TJ memecah lamunanku. Aku pun tersadar dan mengangkat kaki untuk keluar dari bis tersebut.
Seusai itu, aku jalan menuju lorong di dalam halte Jakarta Kota.
Kemudian aku tersenyum. “Wah, itu dia, si abang penjualan koran.”
Untungnya, TJ tujuan Tanjung Priok, yang menyebalkan itu, lama datangnya dan memang terkenal lama. Hanya orang-orang yang sabar dan ingin berhemat biaya transportasilah yang sanggup melakukan ini.

“Kamu yang tak bisa, jangan coba-coba lakukan, ya!”

Selain itu, karena sebelum naik TJ aku belum sempat menghabiskan roti liong yang baru saja dibeli itu, aku memutuskan untuk mendekati si abang penjual koran.
Bukan maksud hati ingin kepo, bukan. Akan tetapi, kebetulan (lagi-lagi) di dekat kios koran si abang itu ada bangku penumpang yang bisa aku duduki buat menghabiskan roti liong tersebut.
Ya, sambil menyelam sambil minum air, ya. Aku sedikit bertanya-tanya mengenai usaha koran yang ditekuni itu.
Dia banyak bercerita kalau memang koran Kompas adalah koran yang harus dijual lebih dulu. Lebih ditawarkan kepada konsumen TJ.
Bila koran tersebut habis sebelum waktunya, ia bisa pulang lebih awal. Namun, bila koran itu tak habis, dia juga bisa pulang, tetapi sesuai jam operasional yang sudah si agen tentukan, yakni jam 12.00 siang.
Selain koran Kompas, ia juga menjual koran lain, yaitu Waarta Kota.
Oia, aku sempat bertanya kenapa dia melakukan pekerjaan ini. Hal itu disebabkan oleh sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta. Katanya lagi, bila tak bekerja, dia hendak makan apa, tah?
Selain itu, pekerjaan jadi penjual eceran koranlah yang ia bisa. Waktunya pun fleksibel.
Satu lagi. Saat hari itu ia tak stand by di halte utamanya, ia sedang menggantikan si ibu penjual koran yang di tempatkan di halte Kota.

*****

Dari obrolan yang terbilang kepo itu, aku bisa ambil satu simpulan umum bahwa nyari kerja itu susah. Kita perlu usaha lebih guna memastikan diri aman terhindar dari lingkaran setan; rasa lapar yang katanya manusiawi, beli kouta bulanan, dan udud yang menyiksa diri bila tak dituruti ((bagi sebagian yang memang terbiasa ngudud))

Popular posts from this blog

Sinopsis Lengkap Under the Queen’s Umbrella & Review 2022

Mengungkap Teori Alchemy of Souls 2 dari Trailer Video, Makin Gelap!

Review Sukabumi Suspension Bridge, Wisata Alam Dekat Jakarta